Skenario Hidup Episode “Listrik Magnet”

Suatu hari seperti biasa saya sedang duduk di depan laptop ngotak ngatik kerjaan baru yang ternyata belum beres beres juga. Tiba tiba teman sekantor sekaligus partner kosan saya, sebut saja namanya Risma, kirim WA yang isi messagenya kurang lebih minta diajarkan teori dasar penelitiannya. Penelitiannya saat ini adalah mengenai teknik tomografi dengan prinsip kapasitansi listrik. Teori dasar yang ia maksud kurang lebih adalah teori teori tentang medan listrik dan teman temannya itu. Setelah pembahasan tentang teori itu selesai, Risma tiba tiba berkata, “Ada gunanya juga dirimu Sit, ambil kuliah Listrik Magnet dua kali, jadi sekarang bisa ngajarin aku” saya hanya tersenyum dan berkata “Ah iya juga, semoga manfaat ya ilmunya”.

Jleeb, tiba tiba kalimat itu mengingatkan saya kembali setahun lalu kalau saya pernah ada dalam posisi yang sama dengannya. Tugas Akhir saya juga sama sama menggunakan teori medan listrik, namun saya sama sekali ngeblank dengan materinya itu.  Ya Rabb pantesan hasil TA-nya cem kayak gitu

Kuliah itu, kuliah bernama Listrik Magnet begitu berkesan. Gimana ga berkesan, karena mata kuliah itu satu satunya mata kuliah yang saya ngulang dua kali selama saya kuliah. Listrik magnet itu normalnya adalah mata kuliah wajib semester 3 di Fisika ITB. Waktu semester 3 saya sama seperti yang lain, ambil mata kuliah itu juga, waktu masuk kelas saya sempat terheran karena begitu penuhnya dan ternyata banyak juga kakak tingkat saya yang masih ambil mata kuliah itu, bahkan saya masih sekelas dengan kakak tingkat angkatan 2006 yang notabene sebentar lagi batas deadline kelulusannya. Dan beberapa bulan setelahnya saya baru paham mengapa hal itu bisa terjadi -_-

Jadi ceritanya masa masa tingkat dua adalah masa suram saya selama kuliah. Intinya saya tidak belajar dengan baik, dan kurang memahami apa yang saya pelajari. Entah karena masih shock dengan mata kuliah di jurusan yang susahnya setengah mati -_- atau entah memang pada dasarnya saya malas, kayaknya yang ini sih jawabannya (Don’t try this at home! ). Singkat cerita saya gagal lulus kuliah LM di semester itu dengan nilai akhir D (huhuhu T_T) dan artinya saya harus mengulang.

Di tahun berikutnya saya ambil mata kuliah itu *lagi* dengan semangat 45 dan berjanji di dalam hati akan belajar lebih baik. Dan ternyata jeng jreng, salah satu jam belajarnya bentrok dengan mata kuliah lain yang tak kalah mengerikannya, Fisika Kuantum, Oh Nooo kenapa harus bentroook >_< ! Dan dilema pun datang

Akhirnya saya memutuskan tetap ambil LM di tahun ketiga itu, dengan pertimbangan bahwa saya pernah ambil mata kuliah itu sebelumnya dan mungkin tidak akan terlalu “gelap” dan ketinggalan pelajaran asalkan saya belajar rajin dan mengerjakan tugas yang diberikan. Saya ingat bahwa jadwal bentrok itu adalah hari Jumat, karena di hari itu saya akan selalu bolos kuliah LM, saya mengkomunikasikan hal tsb dengan dosen LM saya itu, Dr. Agoes Soehaeni dan beliau mengizinkan sambil mengingatkan saya, bahwa kuliah ini cukup berat jika harus sering bolos seperti itu, yang rajin masuk kuliah saja belum tentu lulus, apalagi yang sering bolos, namun dia menyerahkan kembali keputusan pada saya.

Oke fine, setiap jumat saya masuk kuliah Fisika Quantum dan hanya kuliah Listrik magnet di jadwal selain hari itu.

Dan ternyata  dugaan bapak dosen LM yang baik hati itu benar adanya. Saya kewalahan -__-

Selain memang kuliah di tahun ketiga itu paling berat ternyata saya menambah beban itu dengan beban kuliah LM yang berat juga Aaaaargh dong dong dong tuing tuiing

Walau saya sudah guling guling mati matian untuk belajar, ternyata pada kenyataaanya saya tak sepintar itu. Saya gagal lagi dengan nilai akhir yang sama, D. T_T

Kegagalan kedua kalinya terasa lebih menyakitkan dan menusuk Aaargh jleb jleb >_<

Awalnya sedih banget, gimana ga sedih coba tapi ya sudahlah, Live must Go On

Semester berikutnya saya nekat ambil lagi kuliah LM namun ganti dosen. Bukan karena dosen sebelumnya kurang baik, saya cuman maluuu. Padahal belum tentu juga sih bapaknya inget wajah saya hehe. Jadi akhirnya saya pindah dosen, dan ternyata ini keputusan yang tepat. Dosen LM saya itu bernama Dr. Alexander Iskandar atau biasa dipanggil Pak Alex. Beliau salah satu dosen terbaik menuurut saya di prodi fisika ITB. Saya begitu beruntung pernah jadi anak didiknya. Gaya pengajarannya yang gaul dan mudah dipahami, padahal untuk kuliah seberat LM. Intinya saya lebih cocok dengan kelas Pak Alex daripada kelas Pa Agoes. Bukannya cara ngajar Pa Agoes lebih jelek sih, ini lebih ke cocok di hati atau engga aja. Pa Alex adalah dosen yang mengajar dengan caranya yang profesional namun membuat kuliah LM terasa menyenangkan. Walaupun bapaknya non-Muslim, kadang beliau menyelipkan didikan norma norma kehidupan pada kuliahnya. Yang paling saya ingat, kadang di sela kuliahnya, beliau bercerita mengenai kisah hidup para saintis jaman dulu yang inspiratif. Menurutnya dosen jaman sekarang sudah jarang yang menceritakan hal itu, padahal sejarah itu penting, karena menurut beliau dengan belajar sejarah kita dapat belajar dari kesalahan atau pelajaran masa lalu dan mengaplikasikannya di masa sekarang. Ah Pa Alex memang begitu inspiratif.

Hehehe oke kembali ke cerita kuliah LM

Dan untuk kali ini saya serius belajar LM. Dari mulai mencatat di kelas, mengerjakan tugas sebaik mungkin, belajar lebih giat dan tentu saja minta diajarin Sidik, salah satu sahabatku yang super duper pinter tentang per-LM-an. Di UTS 1 nilai LM nya masih pas pasan, saya mulai sedih, tapi saya terus berusaha untuk persiapan UTS 2. UTS 2 mulai ada kenaikan, saya mulai optimis. Namun ternyata hasil kedua ujian tersebut plus ditambah tugas tugas masih belum memuaskan. Saya cuman dapat nilai BC, masih sangat jauh dari target saya yang ingin dapat nilai A (T_T). akhirnya kesempatan terakhir adalah UAS, walaupun BC sudah lulus, tapi saya masih sangat berharap nilai saya bisa naik. Dengan ikut UAS sebenarnya saya ambil resiko, karena nilai UAS akan menggantikan nilai UTS 1 atau UTS 2 yang paling kecil. Jadi kalau nilai UAS saya kecil, bukannya nilai naik malah akan lebih jeblok.

Tapi daripada saya menyesal tak pernah mencoba, saya putuskan untuk ambil resiko dengan ambil UAS. Saya belajar tiap hari, mengerjakan soal yang rasanya membosankan, bahkan saya rasanya sudah hafal dengan isi dari kertas kertas itu haha. Tapi saya tak boleh takabur, bahwa seharusnya saya berusaha memahami teori LM tersebut bukan menghafalkan rumus atau hafal isi jawaban soal ujian

Dan di hari ujian tersebut, Alhamdulillah rasanya saya puas. Saya sudah berusaha maksimal  dan tinggal menunggu hasil. Cukup penasaran dan deg degan karena ini mata kuliah yang berdarah darah

Beberapa hari setelahnya, saya sedang makan siang dengan Pipit dan Sidik di kantin Salman. Ternyata tiba tiba ada sms masuk, dari Geby, salah satu teman saya yang ambil mata kuliah LM itu juga. “ Sit, selamat yaa LM dapet A” . Uuh itu rasanya kayak melayang sambil nyanyi nyanyi, secara refleks sebuah senyuman lebar muncul di wajah saya. Aaah Alhamdulillah ya Allah, terima kasih Pa Alex, terima kasih Sidik. Beberapa menit kemudian setelah makan siang itu selesai, untuk meyakinkan hati saya lihat sendiri nilai yang dipajang di papan pengumuman prodi. Dan ternyata benar tertulis disana, Siti Nurhasanah A. Saya tak sempat lihat angkai di belakangnya berapa yang penting nilai akhirnya A (Bahagiaaa)

Setahun kemudian, saya sekarang sedang duduk disini masih berkutat pada bidang yang sama dan masih berkawan dekat dengan si teori medan listrik ini. setelah 3 bulan lulus kuliah rasanya saya baru sadar, mungkin kalau dulu saya langsung dapat nilai bagus atau minimal lolos kuliah itu ceritanya akan beda hari ini

Aaah memang Allah selalu punya skenario terbaik tentang hamba-Nya termasuk skenario mengenai episode Listrik Magnet ini. Semoga Engkau golongkan hamba sebagai orang yang pandai bersyukur 🙂

5 thoughts on “Skenario Hidup Episode “Listrik Magnet”

Leave a reply to Luthfi Cancel reply