30 Hari Mencari Cinta (Tamat)

Setelah sempat terputus nulis karena satu dan lain hal, akhirnya sampai juga di bagian ending cerita ini. Alhamdulillah . mohon maaf ya lebih panjang dari yang kemarin kemarin

12 Oktober 2014

Masih tentang si ‘dia’

Rumah saya sedikit terlihat berbeda hari itu, lebih ramai orang, bapak mulai beres beres sejak pagi, angkat angkat kursi, bersihin halaman dan pasang karpet. Mamah mulai sibuk masak, beli makanan untuk snack dan mengupas buah buahan. Saya… sibuk ngobrol sama Risma hehe :p. Hari itu memang tidak biasa, saya dan Risma sampai di rumah kemarin malam dari Tangerang, katanya dia ingin melihat peristiwa bersejarah dalam hidup saya. Buat saya hari itu masih terasa biasa saja, Risma berulang kali menanyakan perasaan saya, dan pasti saya jawab “biasa aja ma, belum deg degan yang gimana gimana”. Yaa hari itu judulnya adalah acara khitbah, intinya menanyakan ‘kesediaan’ saya untu menikah dengan si ‘dia’ sekaligus ‘penge-tag-an’ agar saya tidak menerima pinangan orang lain.

Keluarga si ‘dia’ bersama si ‘dia’ datang sekitar pukul 11.30 WIB. Tak banyak yang ikut, karena memang request dari saya,berhubung rumah saya imut imut dan lucu, jadi belum bisa menampung banyak tamu. ‘dia’ datang bersama ibu dan bapaknya dan juga seorang supir yang ternyata masih ada hubungan saudara. Karena sudah mendekati waktu dzuhur bapak mengajak untuk sholat di masjid terderkat. Setelah selesai sholat kami makan bersama, ngobrol sana sini tentang keluarga mereka dan keluarga kami. Ekspresi saya masih datar, lebih tepatnya mungkin jaim hehe. Setelah makan acara pun secara formal dibuka oleh Emang saya yang memang bertugas jadi juru bicara pada hari itu. Setelah dibuka, dilanjutkan kata kata dari bapak si ‘dia’ sekaligus menanyakan maksud kedatangan mereka di hari itu *walaupun semua orang di ruangan itu udah pada tau sih maksud kedatangannya apaan, tapi entahlah mungkin semacam tatakram budaya*. Tanpa basa basi lebar akhirnya sampai pada kalimat menanyakan kesediaan saya untuk menikah. Di detik itu saya baru berpikir harus berkata apa atau malah tak harusberkata apa apa, karena diam kan artinya setuju. Tapi karena diam dan menunduk malu malu itu semacam bukan style saya, jadi reflek saya malah membuat gesture aneh menggaruk kepala padahal tak gatal lalu nyeplos ‘waduh harus jawabnya gimana ya’ *sambil nyengar nyengir*. Beberapa detik kemudian saya baru sadar bahwa hal yang saya lakukan merupakan kesalah dan penyesalan pun datang. Walaupun semua orang di ruangan itu sudah tau dan menangkap kalau saya mau jawab iya. Penyelamat saya di beberapa detik kemudian adalah bibi saya, yang membantu menjawab kehendak hati saya yang terdalam *Alhamdulillah*. Setelah jawaban itu akhirnya forum dilanjutkan dengan agenda menentukan tanggal pernikahan. Bapak menyarankan agar pernikahan dilaksanakan di tahun depan terkait kesiapan keluarga kami menerima tamu. Sejujurnya saya ingin tahun itu juga dilaksanakan, tapi karena kedua belah pihak telah setuju, kami pun memutuskan pernikahan dilaksanakan di tahun depan, namun tanggal belum ditentukan karena masih ada hal yang masih harus dipastikan terlebih dahulu.

Forum pun ditutup, dan tebak semua ini terjadi dalam berapa lama? 1/2 jam saja… keluarga kami berdua memang pada dasarnya simple dan to the point sepertinya. Acara selesai dan mereka berpamitan, namun sebelum pulang ibunya mendekatiku dan memberikan sesuatu. Katanya walaupun ini bukan bagian dari sunnah Rasul dalam proses khitbah, tapi ibunya menganggap ini sebagai hadiah, beliau pun memberikan sebuah cincin emas dan memasangkan nya di jari saya. Setelah menngucapkan terima kasih, dalam hati saya senyum senyum, ini cincin pertama saya sejak lahir. Dari kecil saya memang belum pernah pakai cincin atau gelang, awalnya karena khawatir hilang waktu masih bayi, lama kelamaan jadi kebiasaan dengan jari jari yang polos.

Beberapa minggu kemudian

Kami sekeluarga memutuskan untuk silaturahim ke karawang sekaligus menetapkan tanggal pernikahan. Seperti biasa saya baru datang di jumat malam dari tangerang namun tidak sendirian, teman lab saya sebut saja namanya pipit, ikut datang ke bandung dengan alasan mau jalan jalan keliling bandung. berbeda dengan Risma yang memang sudah merencakan menemani saya waktu khitbahan, si pipit ini tak tahu menahu bahwa esoknya saya akan kumpul keluarga menentukan tanggal pernikahan. Saya katakan padanya kalau saya tak bisa menemaninya jalan jalan di bandung, tapi di tetap memaksa ikut dengan alasan kalau hari sabtu dia akan jalan jalan bersama temannya yang di bandung.

Hari sabtu tak ada tanda tanda neng Pipit akan pergi, kesannya pengen ngusir pipit banget ya haha. Walhasil kekhawatiran saya pun terjadi, mamah akhirnya mengajak pipit ikut ke karawang ke rumah si ‘dia’. Pipit terlihat bersemangat dan akhirnya memutuskan menunda jalan jalan dan ikut dengan kami. Hadeuuh piiiit…

Minggu pagi kami sudah siap siap sejak pagi karena khawatir macet, Alhamdulillah pukul 08.30 kami sudah sampai di tkp, walaupun ada insiden kelewatan jalan, tapi akhirnya sampai juga. Keluarganya juga sudah berkumpul, cukup banyak, namun mamahnya bercerita kalau itu baru hanya sebagian kecil keluarganya karena memang mereka merupakan keluarga besar dan tentu saja hari itu saya jaim tingkat tinggi, semacam merasa dicermati oleh keluarga besarnya sekaligus ‘dikepoin’ tentang aktifiitas saya. Acara pun berlanjut dengan penentuan tanggal pernikahan, awalnya keluarga kami merencakan tanggal pernikahan di 11 Januari 2015 *biar kayak lagunya GIGI gitu hehe* dan qadarullah dulu mamah dan bapak juga menikah di tanggal tersebut. Tapi ternyata rencana saya kalah cepat,di tanggal tersebut ternyata sepupu si ‘dia’ juga ada yang menikah hiks hiks. Yasudahlah tak apa, akhirnya ditetapkanlah tanggal 18 Januari untuk tanggal pernikahan. Itu artinyaa kurang lebih tiga bulan dari hari itu untuk menyiapkan semuanya *tarik napas*

Pekan pecan selanjutnya saya habiskan untuk menyiapkan undangan, katering, pakaian, seserahan, dsb yang ternyata cukup menyita waktu. Namun di anatara semua itu, yang terberat tapi juga penting persiapan mental saya. Ah entahlah, semua jadi terasa lebih melankolis, di sela sela kerjaan di lab yang semakin menumpuk saya pun harus menyiapkan mental saya sebagai istri dan selanjutnya untuk jadi ibu. Namun satu hal yang tak kalah galau adalah keberanian saya untuk menyatakan diri mundur dari pekerjaan. Sesuai komitmen di awal, bahwa saya akan tinggal di bandung setelah menikah. Pada masa itu sebenarnya ada kesempatan, bahwa ternyata si ‘dia’ ada kemungkinan bisa kerja di Jakarta jika diterima seleksi CPNS, namun sampai sepekan sebelum tanggal pernikahan pengumuman seleksi CPNS tak kunjung tiba dan dengan tanggal yang belum jelas.

Awal bulan Desember 2014

Bulan ini saya menghadapi masa evaluasi percobaan karyawan tetap di kantor, mau tak mau saya harus menjalani beberapa tes lagi. Dan mengingat ada kemungkinan saya akan resign bulan depannya, akhirnya saya jelaskan kemungkinan kemungkinan tersebut, dan evaluasi karyawan tetap pun ditunda sampai saya memberikan kejelasan apakah akan lanjut bekerja atau malah akan mengundurkan diri. Awalnya saya hanya memberitahukan rencana tersebut pada koordinator R&D, sebut saja namanya Ka Marlin, namun ternyata tak disangka, berita menyebar sampai kepala lab lain dan bahkan direktur riset. Oh NO…

Keesokan harinya lab saya mulai heboh dengan info tersebut, dan tentu saja heboh itu artinya bully time -_-. Oknum oknum di lab mulai kepo tentang si ‘dia’, mulai dari fotonya, media sosial dll, dan sialnya seruangan dengan orang IT adalah mereka merupakan tukang kepo tingkat dewa. Jadilah rencana saya yang awalnya mau diam diam menyepi lalu tiba tiba sebar undangan, gagal total. Seperti pepatah sudah jatuh tertimpa tangga, lagi dijejali banyak pikiran tentang persiapan pernikahan, akhir bulan ada presentasi laporan riset, ditambah oknum oknum yang kepompong alias kepo dan rempong dari mulai lab sendiri sampai lab sebelah menambah keseruan sinyal sinyal neuron di otak saya.

Oknum kepompong mungkin bisa kita sisihkan sebentar, lalu saya berusaha fokus untuk presentasi laporan riset, dan karena hal ini lah saya tak memungkinkan sering pulang ke bandung, jadi semua koordinasi terkait persiapan pernikahan dilakukan via telepon. Presentasi dilaksanakan tanggal 25 Desember 2014, mungkin ini merupakan presentasi terakhir saya di perusahaan ini, jadi saya ingin melakukan sebaik dan seoptimal mungkin.

Waktu ternyata begitu cepat berlalu, setelah selesai presentasi saya cukup tepar dan kelelahan, lelah fisik dan lelah pikiran. Dan saya mulai terserang virus flu.. -_- bahkan sampai hari H pernikahan saya masih batuk batuk parah dan membuat mamah cukup khawatir T_T.

Beberapa hari setelah presentasi tersebut saya putuskan menghadap HRD untuk mengajukan surat pengunduran diri, sebelumnya saya juga sudah berkomunikasi dengan kepala lab dan koordinator riset kalau saya memang akan tinggal di bandung setelah menikah. Mereka pun memaklumi walaupun sedikit menyesalkan dengan rencana yang begitu tiba tiba.

Awal awal januari saya sudah tidak fokus bekerja, fisik ada di meja kerja tapi hati dan pikiran saya entah dimana, ingin rasanya segera pulang ke bandung tapi tak bisa begitu saja meninggalkan tanggung jawab di situ. Dan dengan logika yang aneh akhirnya dengan spontan saya ‘kabur’ ke Yogyakarta bersama dua teman saya untuk ‘menenangkan diri’ sebelum pernikahan. Orang lain mah semingg sebelum nikah tuh dipingit di rumah ini malah keluyuran ke pantai. Dan tentu saja ibu saya tak tahu, namanya juga kabur -_-

16 Januari 2015

Hari ini saya resmi berhenti bekerja dan menambah jumlah pengangguran di Indonesia. Saya putuskan untuk packing di kosan, merapikan barang barang dan saya bawa pulang ke bandung. setelah kemarin malam ada farewell sederhana namun berkesan dengan para ‘ibu ibu’ kantor, saya cukup bahagia dan betah di pekerjaan tersebut. Untungnya barang bawaan saya tidak terlalu banyak, ada beberapa barang yang akan saya titipkan kepada teman untuk dibawa ke bandung sisanya saya angkat sendiri. Risma sudah berangkat ke kantor sejak pagi, saya sudah berpamitan dari semalam pada risma dan mba esy… ah mungkin ini hari terakhir saya di kosan ini, atau mungkin di tangerang,dan entah kapan saya bisa datang kesini lagi.

Ah iya dua hari lagi saya akan menikah..

Mamah sudah cukup kesal kalau saya ternyata baru pulang ke bandung H-2 acara, tapi apa boleh buat saya tak tega meninggalkan pekerjaan begitu saja, karena banyak persiapan bisa dilakukan via telepon saya pikir tak apa kalau saya pulang hari itu. Siang hari saya sudah sampai rumah, saya lihat rumah saya sudah dipasangi tenda, bukan tenda biru tapi, warnanya putih hehe. Untuk menebus ketidak hadiran saya sebelumnya, sesampainya di rumah saya bantu mamah menyiapkan segala keperluan untuk hari H nanti dengan kondisi masih flu berat dan batuk. Saya minum obat dan mengakibatkan saya tidur cepat malam itu, mempersiapkan bahwa besok rumah saya akan mulai didatangi banyak tamu.

Budaya di sekitar rumah, kalau tamu yang berasal dari tetangga dekat biasanya akan datang di H-1 acara pernikahan, mereka sudah datang sejak siang hari, mengucapkan selamat, ngintipin calon manten dan kemudian pamit pulang. Sejak siang itu saya harus pasang wajah ramah dan sopan pada tamu. Sejujurnya saya sedang ingin mengurung diri tak ingin bertemu siapa siapa, hanya saya dan Allah. Sepi.. introspeksi…

Ah iya besok saya akan menikah ..

Malamnya saya tak bisa tidur, teman dekat saya sudah datang sejak siang hari, untuk jadi penerima tamu dan menemani saya di keesokan harinya. Saya pura pura pamitan ingin tidur cepat, sejujurnya saya hanya ingin sendiri.

Memasuki sepertiga malam saya ambilwudhu dan mengambil ‘me time’ saya dengan Allah. Curhat, berserah diri memohon hal terbaik. Pasrah

Ba’da subuh saya sudah diburu buru tukang rias, oh tidaaak wajah saya mesti didempul sana sini. Saya sudah request dari jauh jauh hari kalau saya tak mau pakai bulu mata palsu apalagi pake style cem syahrini atau krisdayantu, mengerik alis dan berusaha berpakaian sesuai syar’I. Awalnya malah saya tak mau pakai make up, tapi ibu saya mulai mengomel diikuti tukang rias, kalau ini momen seumur hidup sekali dan sudah jadi tradisi. Saya tak berdaya. Manut dengan syarat dan ketentuan berlaku

Sekitar jam 8.30 rombongan si ‘dia’ datang, saya masih di kamar menunggu, saya mulai panik. Saya coba menenangkan diri dengan dzikir dan tilawah, ah begini ya ternyata rasanya. Melewati sebuah perjanjian yang begitu berat, Mitsaqon Golidzo. Tanggung jawabnya seumur hidup, dunia dan akhirat. Menyangkut separuh agama. Ya Rabb.. *pengen nangis, tapi udah dipelototin terus sama tukang makeup takut makeup nya luntur*

Jam 9 forum akad dimulai di masjid sebelah rumah, saya masih di kamar dan hanya bisa mendengar dari suara speaker masjid. Kemudian yang ditunggu pun akhirnya dimulai, akad nikah.

Saya dengar suara dari pihak penghulu yang menjelaskan tata cara akad nikah, menanyakan bapak saya sebagai wali nikah, juga dua orang saksi yaitu adik kandung mamah dan kakak nya si ‘dia’, beserta mahar berupa emas. Saya mendengarkan dengan khidmat, duduk sudah tak karuan

Dan kalimat dari lisan bapak pun jelas terdengar mengucapkan Ijab:

Ananda Suteja Wira Dana Kusuma bin Acep Suparman , saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan anak kandung bapak yang bernama Siti Nurhasanah, dengan mas kawin berupaemas seberat 10 gram dibayar tunai

Itu suara bapak nyebut nama saya *coba nahan nangis*

Diikuti dari lisan si ‘dia’ mengucapkan qabul:

Saya terima nikah dan kawinnya Siti Nurhasanah binti Katim, dengan mas kawinnya yang tersebut dibayar tunai

Tak perlu waktu lama kedua saksi menyatakan bahwa ijab qabul sah kemudian terdengar berbagai doa memohon keberkahan yang terlantun untuk kami berdua.

Tak perlu waktu lama juga airmata keluar tanpa dikomando, otomatis, semacam tumpukan keresahan menghilang begitu saja. Istilah sundanya mah ‘asa bucat bisul’. Saya sudah tak peduli dengan makeup saya hanya ingin menangis dan bersyukur.

saya dijemput dari kamar, ditemani untuk memasuki masjid, semua mata memandang kedatangan saya. Saya tak peduli, yang saya lihat disitu cuman bapak dan si ‘dia’ yang sudah resmi jadi suami saya. Ah saya lihat mata bapak juga sembab sehabis menangis, saya tak pernah melihat bapak menangis. Kemudian saya lihat si ‘dia’, tiba tiba saya merasa malu dan salah tingkah. Seperti biasa kalau saya sedang salting saya melakukan gesture gesture aneh dan spontan. Saya tak peduli dengan pandangan orang lain, yang saya tau saat itu ‘SAYA BAHAGIA’

karena sudah resmi jadi suami, kita ubah kata ganti si ‘dia’ menjadi ‘aa’. Panggilan saya untuk suami saya

Yang ingin saya bagi dari cerita ini bukan tentang pamer sudah menemukan jodoh, saya hanya ingin sedikit berbagai mengenai kekuatan azzam. 30 hari sebelum terima proposal aa bahkan saya ga tau bagaimana cara saya bisa menikah dan tentu saja dengan siapa, yang saya sadar hanya ada azzam untuk menikah secepatnya. Dengan azzam kuat dan niat yang lurus, tak perlu khawatir akan seperti apa jalannya, baik itu panjang berliku atau bahkan pendek dan cepat. Jodoh mah Allah yang kasih, jadi ga perlu mengkhawatirkan apapun janji Allah, yang bisa kita lakukan emang cuman ikhtiar sebaik mungkin sambil terus mengevaluasi niat. *ngomong sama diri sendiri juga*

Sejak detik ijab Kabul itu selesai, saya resmi jadi istri dan aa pun resmi jadi suami saya. Kalau kata orang, kami akan menjalani bahtera rumah tangga bersama. Saya tak tahu seperti apa ujian atau godaan di depan nanti, yang jelas Allah telah memberikan hal terbaik dalam hidup saya dan tentu saja saya akan berusaha melakukan hal terbaik untuk suami saya, anak anak saya nanti, keluarga dan lingkungan sekitar. Dengan ditemukannya belahan jiwa saya padahari itu, saya merasa penuh dan siap menghadapi tantangan apapun bersamanya.

Ah iya saya memasuki fase baru dalam hidup saya

Menjadi seorang istri

—Tamat—-

Leave a comment