30 Hari Mencari Cinta (Tamat)

Setelah sempat terputus nulis karena satu dan lain hal, akhirnya sampai juga di bagian ending cerita ini. Alhamdulillah . mohon maaf ya lebih panjang dari yang kemarin kemarin

12 Oktober 2014

Masih tentang si ‘dia’

Rumah saya sedikit terlihat berbeda hari itu, lebih ramai orang, bapak mulai beres beres sejak pagi, angkat angkat kursi, bersihin halaman dan pasang karpet. Mamah mulai sibuk masak, beli makanan untuk snack dan mengupas buah buahan. Saya… sibuk ngobrol sama Risma hehe :p. Hari itu memang tidak biasa, saya dan Risma sampai di rumah kemarin malam dari Tangerang, katanya dia ingin melihat peristiwa bersejarah dalam hidup saya. Buat saya hari itu masih terasa biasa saja, Risma berulang kali menanyakan perasaan saya, dan pasti saya jawab “biasa aja ma, belum deg degan yang gimana gimana”. Yaa hari itu judulnya adalah acara khitbah, intinya menanyakan ‘kesediaan’ saya untu menikah dengan si ‘dia’ sekaligus ‘penge-tag-an’ agar saya tidak menerima pinangan orang lain.

Keluarga si ‘dia’ bersama si ‘dia’ datang sekitar pukul 11.30 WIB. Tak banyak yang ikut, karena memang request dari saya,berhubung rumah saya imut imut dan lucu, jadi belum bisa menampung banyak tamu. ‘dia’ datang bersama ibu dan bapaknya dan juga seorang supir yang ternyata masih ada hubungan saudara. Karena sudah mendekati waktu dzuhur bapak mengajak untuk sholat di masjid terderkat. Setelah selesai sholat kami makan bersama, ngobrol sana sini tentang keluarga mereka dan keluarga kami. Ekspresi saya masih datar, lebih tepatnya mungkin jaim hehe. Setelah makan acara pun secara formal dibuka oleh Emang saya yang memang bertugas jadi juru bicara pada hari itu. Setelah dibuka, dilanjutkan kata kata dari bapak si ‘dia’ sekaligus menanyakan maksud kedatangan mereka di hari itu *walaupun semua orang di ruangan itu udah pada tau sih maksud kedatangannya apaan, tapi entahlah mungkin semacam tatakram budaya*. Tanpa basa basi lebar akhirnya sampai pada kalimat menanyakan kesediaan saya untuk menikah. Di detik itu saya baru berpikir harus berkata apa atau malah tak harusberkata apa apa, karena diam kan artinya setuju. Tapi karena diam dan menunduk malu malu itu semacam bukan style saya, jadi reflek saya malah membuat gesture aneh menggaruk kepala padahal tak gatal lalu nyeplos ‘waduh harus jawabnya gimana ya’ *sambil nyengar nyengir*. Beberapa detik kemudian saya baru sadar bahwa hal yang saya lakukan merupakan kesalah dan penyesalan pun datang. Walaupun semua orang di ruangan itu sudah tau dan menangkap kalau saya mau jawab iya. Penyelamat saya di beberapa detik kemudian adalah bibi saya, yang membantu menjawab kehendak hati saya yang terdalam *Alhamdulillah*. Setelah jawaban itu akhirnya forum dilanjutkan dengan agenda menentukan tanggal pernikahan. Bapak menyarankan agar pernikahan dilaksanakan di tahun depan terkait kesiapan keluarga kami menerima tamu. Sejujurnya saya ingin tahun itu juga dilaksanakan, tapi karena kedua belah pihak telah setuju, kami pun memutuskan pernikahan dilaksanakan di tahun depan, namun tanggal belum ditentukan karena masih ada hal yang masih harus dipastikan terlebih dahulu.

Forum pun ditutup, dan tebak semua ini terjadi dalam berapa lama? 1/2 jam saja… keluarga kami berdua memang pada dasarnya simple dan to the point sepertinya. Acara selesai dan mereka berpamitan, namun sebelum pulang ibunya mendekatiku dan memberikan sesuatu. Katanya walaupun ini bukan bagian dari sunnah Rasul dalam proses khitbah, tapi ibunya menganggap ini sebagai hadiah, beliau pun memberikan sebuah cincin emas dan memasangkan nya di jari saya. Setelah menngucapkan terima kasih, dalam hati saya senyum senyum, ini cincin pertama saya sejak lahir. Dari kecil saya memang belum pernah pakai cincin atau gelang, awalnya karena khawatir hilang waktu masih bayi, lama kelamaan jadi kebiasaan dengan jari jari yang polos.

Beberapa minggu kemudian

Kami sekeluarga memutuskan untuk silaturahim ke karawang sekaligus menetapkan tanggal pernikahan. Seperti biasa saya baru datang di jumat malam dari tangerang namun tidak sendirian, teman lab saya sebut saja namanya pipit, ikut datang ke bandung dengan alasan mau jalan jalan keliling bandung. berbeda dengan Risma yang memang sudah merencakan menemani saya waktu khitbahan, si pipit ini tak tahu menahu bahwa esoknya saya akan kumpul keluarga menentukan tanggal pernikahan. Saya katakan padanya kalau saya tak bisa menemaninya jalan jalan di bandung, tapi di tetap memaksa ikut dengan alasan kalau hari sabtu dia akan jalan jalan bersama temannya yang di bandung.

Hari sabtu tak ada tanda tanda neng Pipit akan pergi, kesannya pengen ngusir pipit banget ya haha. Walhasil kekhawatiran saya pun terjadi, mamah akhirnya mengajak pipit ikut ke karawang ke rumah si ‘dia’. Pipit terlihat bersemangat dan akhirnya memutuskan menunda jalan jalan dan ikut dengan kami. Hadeuuh piiiit…

Minggu pagi kami sudah siap siap sejak pagi karena khawatir macet, Alhamdulillah pukul 08.30 kami sudah sampai di tkp, walaupun ada insiden kelewatan jalan, tapi akhirnya sampai juga. Keluarganya juga sudah berkumpul, cukup banyak, namun mamahnya bercerita kalau itu baru hanya sebagian kecil keluarganya karena memang mereka merupakan keluarga besar dan tentu saja hari itu saya jaim tingkat tinggi, semacam merasa dicermati oleh keluarga besarnya sekaligus ‘dikepoin’ tentang aktifiitas saya. Acara pun berlanjut dengan penentuan tanggal pernikahan, awalnya keluarga kami merencakan tanggal pernikahan di 11 Januari 2015 *biar kayak lagunya GIGI gitu hehe* dan qadarullah dulu mamah dan bapak juga menikah di tanggal tersebut. Tapi ternyata rencana saya kalah cepat,di tanggal tersebut ternyata sepupu si ‘dia’ juga ada yang menikah hiks hiks. Yasudahlah tak apa, akhirnya ditetapkanlah tanggal 18 Januari untuk tanggal pernikahan. Itu artinyaa kurang lebih tiga bulan dari hari itu untuk menyiapkan semuanya *tarik napas*

Pekan pecan selanjutnya saya habiskan untuk menyiapkan undangan, katering, pakaian, seserahan, dsb yang ternyata cukup menyita waktu. Namun di anatara semua itu, yang terberat tapi juga penting persiapan mental saya. Ah entahlah, semua jadi terasa lebih melankolis, di sela sela kerjaan di lab yang semakin menumpuk saya pun harus menyiapkan mental saya sebagai istri dan selanjutnya untuk jadi ibu. Namun satu hal yang tak kalah galau adalah keberanian saya untuk menyatakan diri mundur dari pekerjaan. Sesuai komitmen di awal, bahwa saya akan tinggal di bandung setelah menikah. Pada masa itu sebenarnya ada kesempatan, bahwa ternyata si ‘dia’ ada kemungkinan bisa kerja di Jakarta jika diterima seleksi CPNS, namun sampai sepekan sebelum tanggal pernikahan pengumuman seleksi CPNS tak kunjung tiba dan dengan tanggal yang belum jelas.

Awal bulan Desember 2014

Bulan ini saya menghadapi masa evaluasi percobaan karyawan tetap di kantor, mau tak mau saya harus menjalani beberapa tes lagi. Dan mengingat ada kemungkinan saya akan resign bulan depannya, akhirnya saya jelaskan kemungkinan kemungkinan tersebut, dan evaluasi karyawan tetap pun ditunda sampai saya memberikan kejelasan apakah akan lanjut bekerja atau malah akan mengundurkan diri. Awalnya saya hanya memberitahukan rencana tersebut pada koordinator R&D, sebut saja namanya Ka Marlin, namun ternyata tak disangka, berita menyebar sampai kepala lab lain dan bahkan direktur riset. Oh NO…

Keesokan harinya lab saya mulai heboh dengan info tersebut, dan tentu saja heboh itu artinya bully time -_-. Oknum oknum di lab mulai kepo tentang si ‘dia’, mulai dari fotonya, media sosial dll, dan sialnya seruangan dengan orang IT adalah mereka merupakan tukang kepo tingkat dewa. Jadilah rencana saya yang awalnya mau diam diam menyepi lalu tiba tiba sebar undangan, gagal total. Seperti pepatah sudah jatuh tertimpa tangga, lagi dijejali banyak pikiran tentang persiapan pernikahan, akhir bulan ada presentasi laporan riset, ditambah oknum oknum yang kepompong alias kepo dan rempong dari mulai lab sendiri sampai lab sebelah menambah keseruan sinyal sinyal neuron di otak saya.

Oknum kepompong mungkin bisa kita sisihkan sebentar, lalu saya berusaha fokus untuk presentasi laporan riset, dan karena hal ini lah saya tak memungkinkan sering pulang ke bandung, jadi semua koordinasi terkait persiapan pernikahan dilakukan via telepon. Presentasi dilaksanakan tanggal 25 Desember 2014, mungkin ini merupakan presentasi terakhir saya di perusahaan ini, jadi saya ingin melakukan sebaik dan seoptimal mungkin.

Waktu ternyata begitu cepat berlalu, setelah selesai presentasi saya cukup tepar dan kelelahan, lelah fisik dan lelah pikiran. Dan saya mulai terserang virus flu.. -_- bahkan sampai hari H pernikahan saya masih batuk batuk parah dan membuat mamah cukup khawatir T_T.

Beberapa hari setelah presentasi tersebut saya putuskan menghadap HRD untuk mengajukan surat pengunduran diri, sebelumnya saya juga sudah berkomunikasi dengan kepala lab dan koordinator riset kalau saya memang akan tinggal di bandung setelah menikah. Mereka pun memaklumi walaupun sedikit menyesalkan dengan rencana yang begitu tiba tiba.

Awal awal januari saya sudah tidak fokus bekerja, fisik ada di meja kerja tapi hati dan pikiran saya entah dimana, ingin rasanya segera pulang ke bandung tapi tak bisa begitu saja meninggalkan tanggung jawab di situ. Dan dengan logika yang aneh akhirnya dengan spontan saya ‘kabur’ ke Yogyakarta bersama dua teman saya untuk ‘menenangkan diri’ sebelum pernikahan. Orang lain mah semingg sebelum nikah tuh dipingit di rumah ini malah keluyuran ke pantai. Dan tentu saja ibu saya tak tahu, namanya juga kabur -_-

16 Januari 2015

Hari ini saya resmi berhenti bekerja dan menambah jumlah pengangguran di Indonesia. Saya putuskan untuk packing di kosan, merapikan barang barang dan saya bawa pulang ke bandung. setelah kemarin malam ada farewell sederhana namun berkesan dengan para ‘ibu ibu’ kantor, saya cukup bahagia dan betah di pekerjaan tersebut. Untungnya barang bawaan saya tidak terlalu banyak, ada beberapa barang yang akan saya titipkan kepada teman untuk dibawa ke bandung sisanya saya angkat sendiri. Risma sudah berangkat ke kantor sejak pagi, saya sudah berpamitan dari semalam pada risma dan mba esy… ah mungkin ini hari terakhir saya di kosan ini, atau mungkin di tangerang,dan entah kapan saya bisa datang kesini lagi.

Ah iya dua hari lagi saya akan menikah..

Mamah sudah cukup kesal kalau saya ternyata baru pulang ke bandung H-2 acara, tapi apa boleh buat saya tak tega meninggalkan pekerjaan begitu saja, karena banyak persiapan bisa dilakukan via telepon saya pikir tak apa kalau saya pulang hari itu. Siang hari saya sudah sampai rumah, saya lihat rumah saya sudah dipasangi tenda, bukan tenda biru tapi, warnanya putih hehe. Untuk menebus ketidak hadiran saya sebelumnya, sesampainya di rumah saya bantu mamah menyiapkan segala keperluan untuk hari H nanti dengan kondisi masih flu berat dan batuk. Saya minum obat dan mengakibatkan saya tidur cepat malam itu, mempersiapkan bahwa besok rumah saya akan mulai didatangi banyak tamu.

Budaya di sekitar rumah, kalau tamu yang berasal dari tetangga dekat biasanya akan datang di H-1 acara pernikahan, mereka sudah datang sejak siang hari, mengucapkan selamat, ngintipin calon manten dan kemudian pamit pulang. Sejak siang itu saya harus pasang wajah ramah dan sopan pada tamu. Sejujurnya saya sedang ingin mengurung diri tak ingin bertemu siapa siapa, hanya saya dan Allah. Sepi.. introspeksi…

Ah iya besok saya akan menikah ..

Malamnya saya tak bisa tidur, teman dekat saya sudah datang sejak siang hari, untuk jadi penerima tamu dan menemani saya di keesokan harinya. Saya pura pura pamitan ingin tidur cepat, sejujurnya saya hanya ingin sendiri.

Memasuki sepertiga malam saya ambilwudhu dan mengambil ‘me time’ saya dengan Allah. Curhat, berserah diri memohon hal terbaik. Pasrah

Ba’da subuh saya sudah diburu buru tukang rias, oh tidaaak wajah saya mesti didempul sana sini. Saya sudah request dari jauh jauh hari kalau saya tak mau pakai bulu mata palsu apalagi pake style cem syahrini atau krisdayantu, mengerik alis dan berusaha berpakaian sesuai syar’I. Awalnya malah saya tak mau pakai make up, tapi ibu saya mulai mengomel diikuti tukang rias, kalau ini momen seumur hidup sekali dan sudah jadi tradisi. Saya tak berdaya. Manut dengan syarat dan ketentuan berlaku

Sekitar jam 8.30 rombongan si ‘dia’ datang, saya masih di kamar menunggu, saya mulai panik. Saya coba menenangkan diri dengan dzikir dan tilawah, ah begini ya ternyata rasanya. Melewati sebuah perjanjian yang begitu berat, Mitsaqon Golidzo. Tanggung jawabnya seumur hidup, dunia dan akhirat. Menyangkut separuh agama. Ya Rabb.. *pengen nangis, tapi udah dipelototin terus sama tukang makeup takut makeup nya luntur*

Jam 9 forum akad dimulai di masjid sebelah rumah, saya masih di kamar dan hanya bisa mendengar dari suara speaker masjid. Kemudian yang ditunggu pun akhirnya dimulai, akad nikah.

Saya dengar suara dari pihak penghulu yang menjelaskan tata cara akad nikah, menanyakan bapak saya sebagai wali nikah, juga dua orang saksi yaitu adik kandung mamah dan kakak nya si ‘dia’, beserta mahar berupa emas. Saya mendengarkan dengan khidmat, duduk sudah tak karuan

Dan kalimat dari lisan bapak pun jelas terdengar mengucapkan Ijab:

Ananda Suteja Wira Dana Kusuma bin Acep Suparman , saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan anak kandung bapak yang bernama Siti Nurhasanah, dengan mas kawin berupaemas seberat 10 gram dibayar tunai

Itu suara bapak nyebut nama saya *coba nahan nangis*

Diikuti dari lisan si ‘dia’ mengucapkan qabul:

Saya terima nikah dan kawinnya Siti Nurhasanah binti Katim, dengan mas kawinnya yang tersebut dibayar tunai

Tak perlu waktu lama kedua saksi menyatakan bahwa ijab qabul sah kemudian terdengar berbagai doa memohon keberkahan yang terlantun untuk kami berdua.

Tak perlu waktu lama juga airmata keluar tanpa dikomando, otomatis, semacam tumpukan keresahan menghilang begitu saja. Istilah sundanya mah ‘asa bucat bisul’. Saya sudah tak peduli dengan makeup saya hanya ingin menangis dan bersyukur.

saya dijemput dari kamar, ditemani untuk memasuki masjid, semua mata memandang kedatangan saya. Saya tak peduli, yang saya lihat disitu cuman bapak dan si ‘dia’ yang sudah resmi jadi suami saya. Ah saya lihat mata bapak juga sembab sehabis menangis, saya tak pernah melihat bapak menangis. Kemudian saya lihat si ‘dia’, tiba tiba saya merasa malu dan salah tingkah. Seperti biasa kalau saya sedang salting saya melakukan gesture gesture aneh dan spontan. Saya tak peduli dengan pandangan orang lain, yang saya tau saat itu ‘SAYA BAHAGIA’

karena sudah resmi jadi suami, kita ubah kata ganti si ‘dia’ menjadi ‘aa’. Panggilan saya untuk suami saya

Yang ingin saya bagi dari cerita ini bukan tentang pamer sudah menemukan jodoh, saya hanya ingin sedikit berbagai mengenai kekuatan azzam. 30 hari sebelum terima proposal aa bahkan saya ga tau bagaimana cara saya bisa menikah dan tentu saja dengan siapa, yang saya sadar hanya ada azzam untuk menikah secepatnya. Dengan azzam kuat dan niat yang lurus, tak perlu khawatir akan seperti apa jalannya, baik itu panjang berliku atau bahkan pendek dan cepat. Jodoh mah Allah yang kasih, jadi ga perlu mengkhawatirkan apapun janji Allah, yang bisa kita lakukan emang cuman ikhtiar sebaik mungkin sambil terus mengevaluasi niat. *ngomong sama diri sendiri juga*

Sejak detik ijab Kabul itu selesai, saya resmi jadi istri dan aa pun resmi jadi suami saya. Kalau kata orang, kami akan menjalani bahtera rumah tangga bersama. Saya tak tahu seperti apa ujian atau godaan di depan nanti, yang jelas Allah telah memberikan hal terbaik dalam hidup saya dan tentu saja saya akan berusaha melakukan hal terbaik untuk suami saya, anak anak saya nanti, keluarga dan lingkungan sekitar. Dengan ditemukannya belahan jiwa saya padahari itu, saya merasa penuh dan siap menghadapi tantangan apapun bersamanya.

Ah iya saya memasuki fase baru dalam hidup saya

Menjadi seorang istri

—Tamat—-

30 Hari Mencari Cinta (Bag. 3)

Warning: tulisan di bawah ini akan banyak bertebaran bahasa sunda, subtitle insyaa Allah akan tersedia di samping tulisan berbahasa sunda 🙂

“nuuuut nuuuuut nuuuuut” *suara ring backtone hp, tanda menunggu telpon diangkat*

Klik *telpon pun terangkat*

“Halo Assalamu’alaikum” terdengar suara bass seorang pria dewasa dari seberang sana

“Wa’alaikumsalam warahmatullah, baba damang? Hehe”

(Wa’alaikumsalam warahmatullah, baba sehat ?)

*berusaha basa basi* *baba: panggilan bapak di rumah*

“alhamdulillah, teteh kumaha, damang?”

(Alhamdulillah, teteh bagaimana, sehat?)

*teteh: panggilan saya di rumah, artinya kakak perempuan dalam budaya sunda*

“Nya alhamdulillah damang”

(Iya Alhamdulillah sehat juga)

“Aya naon teh?”

(Ada apa teh?)

“ hehe iyeu pak emmmm upami abdi nikah taun ieu, kenging teu?”

(ini pak emmmm kalau saya nikah tahun ini, boleh ga?)

*baba terdiam sebentar, kemudian berusaha mencairkan suasana*

“Nikah? Bade nikah jeung saha? Aya nu daekeun kitu ka teteh? Emang teteh geus bisa masak kitu”

(nikah? Mau nikah sama siapa? Memang ada yang mau gitu sama teteh? Memang udah bisa masak? )

ish ish ngeledekin anak sendiri, begini begini juga banyak fans nya keleees *sok kepedean*
kenapa juga topik bisa masak atau engga selalu dilibatkan dalam urusan nikah begini -_-

“nya jeung pameget lah baba… eta kamari diamprokkeun ku rerencangan abdi, orang Karawang, damelna mah di Bandung, di Enhaiiii.”

(ya sama laki – laki lah baba, itu kemarin dikenalin sama temen, orang Karawang, kerjanya di Bandung, di Enhaiii)

“hooo, ari tetehna kumaha? Nya ari bapak mah ngadukung wae sih asalkan sholeh jeung nyaah ka teteh mah”

(hoo, kalau tetehnya bagaimana? Kalau bapak sih mendukung saja asalkan sholeh dan sayang sama teteh)

“Kamari nembe pendak sakali sih hehe, direncangan ku rerencangan abi tea, upami baba teu nanaon mah, minggu payun pamegetna bade ka bumi, mendakan baba sareng mamah, kumaha?”

(Kemarin baru ketemu sekali sih hehe, ditemenin sama temen, kalau baba gapapa, minggu depan laki laki nya mau dateng ke rumah, ketemu sama baba dan mamah, gimana?)

“Nya sok atuh, ari kolot mah ngan bisa ngadu’akeun, upami emang jodoh mah moal kaman meureun, tapi teteh tos yakin ka jalmina?”

(yaa kalau orang tua bisanya mendoakan, kalau memang jodoh ya ga akan kemana, tapi teteh udah yakin sama laki laki tersebut?)

“hehe kumaha nya, pas kamari papendak sih katingalna mah sholeh, akhlakna mah sae, tapi sigana lamun teras janten sareng nu ieu abdi kedah mundur ti padamelan nu ieubade linggih di bandung wae, teu nanaon?”

(hehe bagaimana ya, kemarin sih waktu ketemu keliatannya sholeh dan baik akhlaknya, tapi kalau memang jadi sama yang ini kayaknya saya harus mundur dari pekerjaan yang sekarang terus mau tinggal di bandung aja, gapapa?)

“Nya teu nanaon atuh, baba sareng mamah mah ngadukung upami teteh uih deui ka bandung mah, ngarempel we atuh di dieu deui”

(ya gapapa, baba sama mamah sih ngedukung aja kalau teteh mau pulang ke bandung, kumpul aja lagi disini)

“hehe muhun nuhun baba, engke ku abi diwartosan deui iraha pamegetna bade dongkap, nya tos bade nyarios kitu hungkul da baba, assalamu’alaikum”

(iya makasih kalau gitu baba, ntar dikabarin lagi kapan laki laki nya mau dateng ke rumah, ya udah cuman mau bilang gitu aja kok baba)

“muhun wa’alaikumsalam”

Klik *suara telepon ditutup*

*Fiuuuuuh*

Akhirnya saya memutuskan memberitahu orang tua lewat telepon, ga sopan banget nya kalau dipikir pikir sekarang, soalnya dulu belum ada kesempatan pulang ke bandung dalam waktu cepet, daripada di ntar ntar lagi bilang ke orang tua, mending lewat telepon aja

Seminggu kemudian

Setelah memberitahu si ‘dia’ alamat rumah beserta jalur kendaraan yang memungkinkan, saya memberitahu kedua orang tua kalau ‘dia’ akan datang hari Ahad. Orang tua saya pun meng-iyakan dan mengosongkan agenda pada hari tersebut *sok sibuk ceritanya*. Saya memutuskan untuk tidak berada di rumah pada hari tersebut, dengan alasan masih ada kerjaan di kantor, sejujurnya mah ga berani sih ketemu lagi hehe. Malu sama kucing cenah ceritanya mah.

Hari Ahad *lupa tanggal berapa pokoknya bulan agustus*

Sekitar jam 11 an telpon saya berdering, baba telpon menanyakan kalo si ‘dia’ belum datang juga ke rumah. Dalam hati saya berkata “hadeuuh ini niat kagak sih dateng ke rumah, katanya mau agak pagian takut macet, oh mungkin tadi memang ada perlu lain dulu”. Sebelumnya ‘dia’ berkata kalau akan datang agak pagi, dan bertanya sebaiknya bawa apa untuk orang di rumah. Saya mengatakan kalau tidak perlu bawa apa apa takutnya memang merepotkan.

Sekitar dzuhur baba telpon lagi mengabari kalau ternyata si ‘dia’ sudah datang beberapa menit sebelum adzan dzuhur, sempat ada misskom juga dengan arah kedatangan si ‘dia’, baba nunggu ‘dia’ di arah depan rumah, ternyata dia datang dari arah belakang rumah. Hehe ya sudahlah, yang penting sudah sampai juga alhamdulillah.

Bada maghrib saya telpon baba lagi, ingin tahu pendapat beliau dan mamah tentang si ‘dia’. Baba bercerita kalau lebih gantengan baba katanya daripada si ‘dia’ *hadeuuuuh pede tingkat tinggi* selain itu tak ada komentar lain dari baba. Kalau mamah bercerita, katanya baba sok cool gitu di depan si ‘dia’ mungkin mempertahankan pencitraan ke-bapak an di hadapan ‘calon menantu’ padahal kalau kenal aslinya mah lebih sering dibuli sama anaknya dari pada citra ke-bapak an muncul. Terus komentar mamah yang lain adalah, “eta mah sabelas dua belas we jeung si teteh pohoan na mah, maenya kantong gendong na ampir tinggaleun, pas mamah bade lebet ka bumi katingal aya kantong tinggaleun, oh meureun nu Teja, enggal enggal we disusulkeun, untung teu acan naek motor Teja-na”

(itu sebelas dua belas sama si Teteh sering lupa nya, masa kantong gendongnya hampir mau ketinggalan, waktu mamah mau masuk ke rumah keliatan ada tas ketinggalan, cepet cepet disusulin, untung saja belum naik motor Teja-nya).

Yang bagian ini saya juga no komen ah, cuman bisa nyengar nyengir miris hehe.

Iseng saya bertanya, tadi si ‘dia’ bawa apaan ke rumah? “teu nyandak nanaon da teh, tadi langsung ti kosan saurna”

(ga bawa apa apa kok teh, tadi langsung dari kosan katanya).

Hadeuuuh dasar lelaki, dikasih tau ga usah bawa apa apa kan maksudnya basa basi, biar kesannya ga merepotkan dan banyak maunya, padahal kan kalau bertamu apalagi ke tempat ‘calon mertua’ biasanya bawa apalah gitu, sekedar budaya dan adat sopan santun ke-Sundaan. Hehe tapi gapapa lah saya bisa memaklumi, sepertinya ‘dia’ bingung mau bawa apa, jadinya daripada salah bawa mending sekalian ga bawa apa apa. *fiuuh logika lelaki* *usap dada*

Setelah hari itu terlewati giliran saya yang harus datang ke rumah orang tua ‘dia’ di Karawang. Seperti biasa saya tanyakan alamat dan jalur kendaraan umum dari arah tangerang ke rumah orang tuanya di karawang. Waktu itu saya perkirakan kalau saya bisa sampai disana sekitar 2 – 3 jam, ternyata aslinya 4 jam >_<.

Dua pekan kemudian *tanggalnya udah lupa*

Setelah tertunda sepekan karena ternyata keluarga si ‘dia’ sedang tidak di rumah pada pekan sebelumnya, akhirnya saya datang di hari ahad ke rumahnya di karawang dengan kondisi ‘Sendirian’. Kalo dipikir pikir sekarang sok sok an banget ya, perempuan, dateng sendirian ke rumah calon mertua, belum pernah ketemu sebelumnya, apalagi dateng ke rumah orang tua nya, hehe ya tapi begitulah kondisinya, tapi senggaknya saya bawa oleh oleh pas kesana. Bingung juga mau bawa apa, jadi saya beli kue bolu *standar banget* sama dua bungkus ‘SAKANA’ beli dari temen sekantor a.k.a mba uni yang biasa jual makanan seafood siap saji, nah yang ini rada anti meanstream juga sih hehe gapapa lah karena saya suka makanan seafood ga ada salahnya juga ngasih makanan kesukaan saya untuk bertamu. Kenapa sendirian? Dulu sobat sekosan saya lagi ga bisa nganter, dan sobat saya yang lain yang tau saya sedang proses juga sedang berada di tempat nan jauh disana, dan ga mungkin juga bisa nganter. Jadi saya putuskan untuk datang sendiri. Deg degan juga sih awalnya, tapi ternyata saat sudah sampai di TKP *yeaaaay alhamdulillah ga nyasar*, saya disambut dengan baik. Sempat hampir salah rumah, terus tanya tetangga sana sini, akhirnya sampai dengan selamat. Mamahnya cukup khawatir juga karena saya datang sendirian, naik angkutan umum pula. Jadi beliau terlihat bahagia saat saya sampai di depan pintu. Awalnya bingung memperkenalkan diri sebagai apa, saya bilang aja temennya si ‘dia’. Tapi karena bapak dan mamahnya juga udah ngeh saya siapa, mereka langsung mengajak saya masuk dan menawari makanan *alhamdulillah lapar beut aslinya soalnya tadi pagi ga sempet sarapan hehe*. Karena saya datang sekitar jam 12 siang, saya langsung ditawari makan siang bersama. Sambil ngobrol sana sini tentang pekerjaan saya, keluarga saya, keluarga mereka, dan tentu saja cerita bagaimana kami bisa bertemu dan memutuskan untuk menuju proses pernikahan. Mereka juga bertanya rencana saya kedepan bagaimana. Dan pertanyaan yang membuat saya kaget, mamahnya bertanya, apakah saya memang benar benar serius tentang rencana menikah dengan anaknya. Saya bingung jawab apa, emang wajah saya keliatan kurang meyakinkan ya hehe. Lalu saya jawab, insyaa Allah saya memang serius, dan memang sudah berkomitmen dari jauh jauh hari dalam mempersiapkan pernikahan. Mamahnya terlihat lega dan meneruskan pembicaraan basa basi lainnya. Setelah ngobrol panjang lebar dan tentu saja pake bahasa sunda, ba’da ashar saya pamitan untuk kembali ke tangerang.

4 jam kemudian

Saya sampai di kosan, hp lowbat, waktu saya nyalakan sms berderet masuk. Ternyata dari mamahnya si ‘dia’ yang khawatir saya nyasar atau kenapa kenapa di jalan. Akhirnya saya telpon balik dan mengabari kalau saya sudah sampai dengan bahagia dan selamat di kosan tercinta. Heuheu saya merasa disayangi untuk ukuran orang yang baru pertama kali kenal. Inti dari pertemuan itu saya senang dengan keluarganya, dengan latar belakang keluarga yang mirip dengan keluarga saya, karena mungkin sama sama orang sunda juga, keliatannya mereka juga welcome dengan kehadiran saya. Saya ga tau juga sih dulu kesan mereka terhadap saya seperti apa, yang penting saya sudah ikhtiar untuk mengenal keluarganya. Alhamdulillah selama yang saya rasakan pada waktu itu, tak ada yang membuat hati kurang sreg atau kurang nyaman, saya malah semakin yakin dengan si ‘dia’. Fiuuuh tinggal berdoa dan menunggu proses selanjutnya.

Seminggu kemudian

Ibu Mr. mengabari kalau dari pihak ‘dia’ dan keluarganya tidak keberatan untuk melanjutkan proses, dan beliau bertanya pendapat saya dan keluarga juga tentang si ‘dia’. Kalau memang pihak keluarga menyetujui akan dilanjutkan ke proses khitbah atau melamar.

Saya cukup kaget tapi juga bersyukur kalau ternyata prosesnya cukup cepat, jadi saya kabari ibu Mr. kalau keluarga saya juga menyambut baik dan menanyakan pula kapan sebaikya tanggal untuk acara khitbahan.

Entahlah perasaan apa dulu yang terasa, tapi keyakinan dengan proses pernikahan si ‘dia’ memang semakin kuat, antara merasa exciting tapi juga tak mau takabur, karena jika akad nikah belum terucap masih begitu banyak kemungkinan terjadi bahkan ada banyak cerita orang lain yang gagal menikah hanya dalam beberapa hari sebelum hari akad. Kadang merinding juga kalau membayangkan hal tersebut, tapi namanya juga manusia, berharap mah pasti ada aja. Yang penting terus tawakal sama Allah dan menyerahkan diri pada setiap keputusan yang Allah beri, sambil terus bersyukur dan berikhtiar sampai hari akad pun tiba. Ah iyaaa, ikhtiar memperbaiki diri, merasa diri masih banyak kekurangan, kadang minder dengan posisi diri sebagai remahan keripik singkong, kecil dan mudah dibuang orang, dan berbagai macam perasaan lainnya yang berkelebat. Belum lagi kondisi lingkungan yang cukup dinamis pada saat itu, membuat semua proses ini terasa berat. Fiuuuh *tarik napas dalam dalam* *masuk kamar…. peluk bantal… nangis*.

Bersambung

30 Hari Mencari Cinta (Bag. 2)

1 syawal 1435 H / 28 Juli 2014 jam 14.00

Selesai silaturahim dan salaman kesana kesini akhirnya sampai juga di rumah. Masuk kamar, buka laptop, donlot attachment email.

*sok cool, nengok kanan kiri depan belakang, takutnya ada orang lewat*

Entah kenapa itu internet lemotnya setengah mati, mungkin si provider lagi sibuk juga ngeladin bandwith orang orang yang ngucapin selamat lebaran atau apalah itu problem perinternetan itu.

Sekitar 30 menit kemudian

Akhir kedonlot juga itu file, double klik, terlihat logo MS. office di layar laptop

*dag dig dug , masih waspada sama kondisi sekitar*

Akhirnya kebuka juga itu file, skral skrol ke atas ke bawah, ke atas lagi ke bawah lagi

File word itu hanya berisi 4 halaman, diawali dengan beberapa kalimat dari buku Salim A Fillah.

Bukan dari tulang ubun ia dicipta, berbahaya menjadikannya sanjung dan puja. Bukan dari tulang kaki, tak pula tuk diinjak-diperbudak. Tetapi sebagai tanda kebesaranNya, Allah cipta istri dari tulang rusuk, dekat ke hati tuk dicintai, dekat ke tangan tuk dilindungi.

#eaaa

Abaikan lah saya ga begitu peduli sama kalimat kalimat begituan. *plegmatis akut*

Skral skrol lagi ke atas ke bawah

Yang menarik cuman targetan hidup beberapa tahun kedepan dan kriteria calon pendamping. Ada salah satu target yang bikin kaget juga karena mirip dengan targetan saya beberapa tahun kedepan *nyengir nyengir*. Masih berusaha menenangkan diri bahwa semua masih begitu awal dan masih banyak kemungkinan yang terjadi di depannya. Yang bikin nyengir nyengir miris adalah waktu kriteria pendamping. Disitu ada tiga kriteria, yang pertama “bisa menguatkan saya di jalan dakwah”, ah ini terlalu klasik buat proposal nikah, ya memang penting sih tapi saya sudah menyangka aka nada tulisan seperti itu di proposal hehe. Kriteria kedua, “memiliki usia sama atau di bawah saya”, oke ini ga masalah, saya dua tahun lebih muda juga. Nah di kriteria ketiga,”memiliki skill memasak di atas atau sama dengan saya” *nyengir nyengir miris*. Bukanya saya ga suka masak, tapi faktanya emang begitu. Kata teman sekantor saya dulu, “emang ntar suamimu mau dimasakin matlab sama comsol sit. Terus kalau masak mesti disimulasiin dulu gtu”. Kriteria yang terakhir ini saya skip, pura pura aja ga keliatan hehe.

Skral skrol lagi ke atas ke bawah

Intinya saya ga yang excited gimanaaa gtu, rasanya masih biasa aja. Dalam hati nolak juga engga, atau langsung mengiyakan juga engga. Ekspresi saya di detik itu datar….

Dulu saat mulai ihtiar dengan memberikan proposal nikah saya udah niatin dari awal sih dan udah istikharah juga selama di proposal itu ga ada yang bikin saya ga sreg banget atau bakal bertentangan dengan prinsip fundamental bakalan lanjut aja. Tapi karena berasa gimanaaa gtu kalau langsung bilang ke ibu di hari itu juga kalau saya mau lanjut proses akhirnya saya menunda kata kata pengiyaan tersebut.

Bada magrib, saya masih kepikiran aja sama file tadi siang. Daripada galau ga jelas akhirnya saya memutuskan untuk kirim pesan ke Mr. untuk mengiyakan kelanjutan proses ta’aruf. Dasar orang B, sukanya bikin hal hal spontan. Tapi saya rasa ini bukan termasuk ketergesa gesaan sih, daripada lama lama malah kepikiran terus dan ga bisa tidur malem itu. Pesan pun terkirim, saya tunggu jawaban dari ibu dan ternyata baru dibalas besok paginya. Iya lah orang ibunya lagi mudik, mungkin lagi ngumpul keluarga, ini malah saya recokin sama hal jodoh jodohan begini, hehe maaf ya ibu. Ibunya bilang kalau beliau akan menghubungi lagi untuk merencakan tanggal pertemuan ta’aruf.

7 Agustus 2014

Ibu kirim pesan menawarkan untuk bertemu tanggal 10 agustus di bandung, beliau juga menanyakan apa memungkinkan saya pulang ke bandung di tanggal tersebut. Akhirnya saya mengiyakan, padahal minggu kemarinnya saya baru saja pergi dari rumah karena jadwal liburan lebaran di kantor sudah berakhir. Saya telpon mamah di rumah dan mengabari kalau weekend itu saya mau pulang lagi karena ada janji bertemu teman. Saya belum kabari orang tua saya sebelumnya kalau saya ada niatan menikah tahun ini *paraaah*. Abisnya takut belum berhasil atau gimana gtu kan, daripada saya php-in orang tua akhirnya saya berniat akan menceritakan semua ini kalau udah mau ta’aruf keluarga .

10 Agustus 2014

Janji pertemuan jam 9 pagi di kantor suatu partai, saya ga perlu sebut lah itu dimana, yang jelas di Bandung. Dalam hati pernah protes juga sih kenapa tempatnya disitu errrrgh, berasa gimanaaa gtu kalau dateng ke tempat itu, hawanya berasa mau aksi atau mau ngurusin administrasi, bukan mau ta’arufan begini. Tapi ya sudahlah, saya ga berani protes, nurut aja lah lagipula tetep aja jauh dari rumah saya, mesti dua kali naik angkot.

Jam 6 pagi saya pergi dari rumah, secara rumah saya di bandung coret, daripada saya telat karena macet dsb saya niatkan pergi lebih awal. Salam cium tangan mamah bapak, dengan wajah masih cool dan ngantuk lebih tepatnya karena semalem baru nyampe rumah jam 12 malem. Dan seperti sudah diduga saya dateng kepagian, satu jam lebih cepat dari jam pertemuan. Oh NOOO… saya ga tau mau ngapain, saya ga berani masuk kantor itu sendirian, saya akhirnya jalan jalan sendirian daerah situ, nyari masjid buat sholat dhuha padahal di kantor itu juga ada musholanya hehe. Yasudahlah gapapa sekalian ngadem jalan jalan di bawah pohon rindang di sekitaran situ. Akhirnya nemu masjid setelah beberapa lama jalan kaki, saya ambil wudhu, shalat dhuha, tilawah dulu. Saya liat jam tangan masih jam setengah 9. Aaaargh kenapa berasa lama beut sih ini. 15 menit kemudian akhirnya saya kembali ke TKP tempat janji pertemuan, saya kirim pesan ke ibu kalau saya sudah datang. Ibu membalas kalau beliau akan terlambat datang karena terjebak macet di jalan taman sari bandung yang terkenal macet kalau weekend karena di jalan dago ada carfree day, beliau meminta saya menunggu di mushola kantor tersebut. aaaaah ibu kenapa pake telat dateng segala lagi. Saya akhirnya masuk kantor itu sendirian, melangkah masuk ke kantor pelan pelan, sok cool pasang wajah datar, ga sengaja tengok ruang tunggu di lobi kantor, ada yang sedang duduk sendirian kemudian menoleh. “deg cling”  *efek slow motion kayak di film film* waduh saya tau itu orangnya, tapi saya pura pura ga tau dan berpaling, masih pasang wajah datar mendekati jutek, jalan lurus belok kanan terus masuk mushola. Yang saya ingat dia pakai kemeja biru “dalam hati: ih warna bajunya samaan” *abaikan ini ga penting banget* dan berkacamata. Entah bagaimana, kemampuan ingatan visual saya cukup baik, saya bisa ngeh sama seseorang bahkan hanya dengan melihat fotonya saja. Saya udah deg degan setengah mati sebenernya jadi saya duduk dan buka mushaf lagi untuk tilawah sambil nunggu ibu datang.

Setengah jam saya duduk sendirian di mushola, *ga bisa lebih lama lagi bu kejebak macetnyaaa? Huhuuuu T_T*. akhirnya Ibu datang, masih berusaha pasang wajah datar saat ada dua orang laki laki juga masuk mushola itu dan *tring* sesuai dugaan saya, satu laki laki yang sudah agak senior, yang akhirnya saya tau kalau itu murrobinya, dan satu lagi laki laki yang saya liat di lobi depan kantor tadi.

Pertemuan pun dimulai, pembukaan dari murobbi ikhwan lalu lanjut tilawah, kemudian penjelasan tata tertib pertemuan tersebut. Saya kurang tau juga itu susunan acaranya harusnya kayak gimana, saya cuman ngikut aja itu. Akhirnya sampai di suatu momen bahwa saya duluan yang bicara, malam sebelumnya saya udah tanya mbah saya yang setia menjawab pertanyan pertanyaan saya selama ini, mbah google. Saya cari kemungkinan pembicaraan yang terjadi di acara ta’aruf begituan. Akhirnya saya ajukan beberapa pertanyaan terkait rencana kedepan dan kemungkinan saya untuk bekerja dan atau kuliah di luar negeri. Alhamdulillah jawabannya masih dalam ekspektasi saya, ga ada yang bikin kecewa atau gimana gimana. Walau ternyata jika memang jadi ke tahap pernikahan, akan sulit bagi saya bekerj a di tempat yang sekarang, antara saya atau dia yang harus mengalah untuk resign. Tapi hal ini sudah saya pikirkan matang matang sejak dulu sebelum memulai proses, saya berazam apapun kondisi pekerjaan saya pada waktu itu, kalau sampai waktunya saya menikah saya akan ikut bersama kemanapun suami pergi, apapun resikonya.

Momen selanjtnya adalah bagian dia yang bicara, ada dua pertanyaan yang diajukan, pertama masih terkait pekerjaan saya di Tangerang pada saat itu. Kemudian saya jelaskan kembali mengenai komitmen saya akan ikut suami walaupun dengan resiko kehilangan pekerjaan. Pertanyaan kedua, ini antara pengen ketawa atau kesel, katanya sih itu pertanyaan titipan mamahnya di rumah. Dia tanya karena rumah saya di Baleendah, apa rumah saya kebanjiran? *whaaaaaaaat….. ada begitu banyak pertanyaan yang biasa diajukan saat ta’aruf, kenapa harus nanya tentang kebanjiran, emang kalau rumah saya kebanjiran kenapa?  -_- Errrrgh * berusaha untuk cool saya jawab dengan sedikit senyuman, kalau rumah saya Alhamdulillah belum pernah kebanjiran, walaupun memang kalau sedang musim banjir, jalanan menuju kota akan jadi sulit dan harus sabar menghadapi kemacetan yang ada karena pengalihan jalan.

Setelah tidak ada lagi pertanyaan yang harus didiskusikan, akhirna forum itu ditutup dengan doa dan penjelasan proses selanjutnya, dan tebak semua kejadian ini terjadi dalam berapa lama. Acara ta’arufnya hanya setengah jam hehe. Lebih pendek dari masa menunggu saya tadi pagi, mungkin karena kami berdua sama sama tipe orang simple dan to the point, acara pertemuan pun jadi begitu singkat.

Setelah bubar saya berjalan beriringan dengan ibu, berdua. Ibu menasehati saya untuk tidak tergesa gesa dalam memberikan jawaban dan mendiskusikan semuanya terlebih dahulu dengan orang tua, beliau juga memberikan wejangan wejangan pada saya untuk terus istikharah dan tawakkal pada hasil apapun nanti kedepannya.

*tarik napas dalam dalam*

Saya naik angkot menuju terminal leuwi panjang, saya kembali ke Tangerang. Karena keesokan harinya harus kembali masuk kerja, bahkan ada meeting di pagi hari. Jadi saya putuskan kembali siang itu juga, tanpa pulang dulu ke rumah orang tua.

Misi selanjutnya adalah bagaimana cara memberitahu orang tua alias mamah dan bapak tentang semua hal ini *hening*

Bersambung….

30 Hari Mencari Cinta (bag. 1)

Mood blogging itu sepertinya baru muncul saat tingkat melankolis sedang tinggi. Terakhir posting waktu masih jomblo dan masih hektik begini begitu sama kerja dan proyek penelitian. Ok mulai dari cerita mana yang mau ditulis ya, saking banyak yang ingin ditulis malah bingung. Dari sini aja kayaknya….

30 hari mencari cinta

Mei 2014 tanggal tepatnya lupa

“eh bentar lagi udah ramadhan ya gak kerasa, masih jomblo aja nih ka Siti. Ntar pasti ditanyain deh pas lebaran sama keluarga keluarga” ujar salah seorang teman magang saya saat entah kenapa tema tentang jodoh jodoh itu tiba tiba muncul dalam obrolan dan candaan.

“wehehehe iya ya,ikut program 30 hari mencari cinta aja gitu ya” nyengir nyengir ga jelas padahal pengen bilang “sakitnya tuh disini” *sambil nunjuk dada dengan muka melas”

Awal Ramadhan 1435 H / Juni 2014, Malam hari ba’da shalat tarawih di suatu ruangan yang remang remang

“klik” *nyalain tv*

“klak klik klak klik” *cari cari saluran tv yang mengena di hati

“bag big bug kresek krisuk kresok” *cari posisi duduk lesehan yang nyaman lalu buka bungkus makanan*

Lagi anteng anteng nonton sambil makan atau mungkin makan sambil nonton, lewatlah sesosok bayangan hitam dan tiba tiba lampu besar menyala hingga teranglah seluruh ruangan pantry kantor itu.

“sendirian?” tiba tiba sosok bayangan hitam itu terlihat sedang berdiri dan berusaha menyapa

“eh iya pak” *masih syok*

Dalam hati: memangnya saya keliatan lagi bareng sama siapa pak? Semoga bapaknya bukan lagi liat penampakan makhluk lain atau semacamnya di ruangan itu selain saya

“makan pak….” *berusaha mencairkan suasana dengan basa basi menawari makanan*

“iya silahkan” *sosok tersebut berjalan cepat meningalkan ruangan*

*fiuuuuuh*

Bapak CEO perusahaan sekaligus direktur penelitian di tempat saya bekerja memang terkenal suka begadang dan pulang malam hari. Ternyata hari itu beliau hanya lewat dari ruangannya menuju parkiran kantor.

Jadi inti cerita ini apaan sit?

Hehe bingung ya…

Inti cerita ini adalah pada saat itu saya dalam kondisi kesepian dan kegalauan tingkat tinggi, awal bulan ramadhan, malem malem, abis tarawih malah nongkrong di pantry kantor, sendirian, kelaperan karena baru nemu makanan berat, berniat nginep di kantor beresin kerjaan, bukannya pulang kumpul keluarga atau istirahat biar besok sahur dan bisa ibadah dengan lebih baik lagi. Abisnya temen kosan juga yang satu, lagi beresin skripsi di Yogyakarta, yang satu lagi pulangnya biasanya malem banget karena lagi prosesn Manajemen Training kerja di salah satu minimarket ternama. Ga ada semangat pulang kosan mending juga di kantor, full ac dan internet hehe

Sepertinya becandaan 30 hari mencari cinta yang dulu itu harus segera digalakan kembali *tarik nafas dalam dalam* *berdoa*

Flashback bentar, Tengah Januari 2014, 05.00 am

“klik” *tanda pesan terkirim di apilikasi gmail pada layar monitor laptop muncul

*tarik nafas hembuskan nafas*

Lalu saya coba ketik sebuah pesan pada salah satu kontak whatsApp bernama Mr. “Ibu, saya sudah kirim proposal saya ke email ibu yang *****************@gmail.com, mohon bantuannya. Terima kasih banyak sebelumnya”

“enter” *tak lama kemudian tanda double checklist muncul di pesan tersebut

“Mr. typing……..” *deg degan*

“tuing tuing” *suara notifikasi pesan whatsApp muncul. Saya baca sambil bernafas dalam dalam

“baik Siti, Insyaa Allah ibu coba bantu semaksimal mungkin. Jangan lupa terus lanjutkan istikharah dan ihtiarnya ya. Perlu ibu ingatkan kalau selama proses ini bisa jadi sebentar, satu minggu, satu bulan bahkan ada yang bertahun tahun. Ibu harap Siti bisa bersabar dan terus mempersiapkan diri untuk kondisi apapun kedepannya. Semoga Allah berikan jodoh terbaik untuk Siti di waktu yang paling tepat”

Saya bergegas menutup hp dan bergegas siap siap ngantor lagi daripada melow melow sendirian di kosan.

Satu minggu berlalu, belum ada kabar

Satu bulan berlalu, masih belum ada kabar

Tiga bulan berlalu, masih juga belum ada kabar

Mulai menyerah, mungkin memang bukan jalan ikhtiarnya pake proposal proposal begituan. “Coba ikhtiar pake cara tradisional aja kali ya” *berkata dalam hati*

Empat bulan berlalu, udah lupa pernah ngirim email begituan. Mulai teralihkan dengan mulai hektiknya kerjaan di kantor.

Sampai ada kabar dari atasan bahwa saya bisa dipromosikan untuk jadi pegawai tetap di tempat saya bekerja tersebut, itu artinya saya akan terikat kontrak dan kemungkinan masih harus tinggal di tangerang dalam minimal waktu satu sampai dua tahun *tarik napas* *galau*

Lima bulan berlalu

Enam bulan berlalu dan Ramadhan pun tiba

Malam lebaran 1435 H /27 Juli 2014

“tuing tuing” *ada notifikasi dari pesan di whatsApp muncul di layar hp

Dengan santai saya baca, palingan juga ucapan selamat hari lebaran minal aidin walfaidin atau sejenisnya.

“Siti apa kabar? Semoga selalu dalam lindungan Allah. Mohon maaf lahir batin atas kesalahan kesalahan selama ini. Ibu mau tanya apa sekarang siti sedang dalam proses menuju pernikahan, selain dari proposal yang dulu siti kirim ke ibu?”

*syok, pesan dari Mr. *

“Alhamdulillah baik ibu, ibu bagaimana kabarnya? Saya juga mohon maaf lahir batin ya bu. Kalau sekarang tidak sedang proses dengan siapa siapa bu. Memang ada apa ya bu kalau boleh saya tau?” *pura pura kalem dan lupa kalau dulu pernah ngirim proposal nikah.

“ Alhamdulillah ibu baik juga. Mau mengabari kalau sekarang proposal siti sedang dipelajari oleh seorang ikhwan tapi bukan anak ITB, sekarang beliau kerja di NHI Bandung, dulunya S2 ekonomi Unpad. Kalau siti berkenan, ibu akan kirim proposal ikhwan tersebut ke email siti”

*dalam hati berkata, emang kenapa kalau bukan anak ITB hehe*

“oh iya baik bu, kirim ke email saya yang sinu.uneh@gmail saja bu” *masih berusaha sok cool*

“terima kasih siti, tapi mohon maaf sepertinya baru besok ibu kirim karena sekarang sedang perjalanan mudik ke Semarang”

“iya tidak apa apa bu, terima kasih sebelumnya, hati hati dalam perjalanan mudiknya” *udah ga nahan sok cool*

*guling guling roll depan roll belakang, pusiing pala berbiiiii*

Keesokan harinya

“tuing tuing” *notifikasi email masuk *deg degan lagi* *pura pura cool soalnya lagi kumpul keluarga besar di rumah emang * *aaaaaargggh, pengen teriak tapi ga bisa*

Karena hp tak memungkinkan baca file word, saya hanya baca pesan di email tersebut dan attatchment nya saya berusaha abaikan. Hanya terlihat judul file nya saja bertuliskan “proposal suteja”

“Ybh siti aslm, berikut data dari al akh silakan untuk dipelajari, untuk foto diri ybs sdg dimintakan. Smg rizki dan perlindungan terbaik dr Allah Swt senantiasa bg siti dan kita semua. Mari kita niatkn ikhtiar ini sbg ibadah, kita ikhlaskan hasilnya apapun itu kpd Nya.

Salam”

*pengen pulaaaaaaaaaang terus buka laptop* *aaaaargh*

Bersambung

 

 

Gyeongsan-Bandung-Tangerang

Gyeongsan-Bandung-Tangerang

17 Mei 2014

Tahun tahun lalu, di tanggal ini kita masih bisa bertemu fisik. Namun hari ini kita terpisah jarak ratusan dan ribuan km satu sama lain.
Awalnya cukup aneh dan bingung, terlebih keterbasan sumber daya dan waktu
Jadilah sesuatu yang kecil dan sederhana dari kami untukmu
Namun semoga tak mengurangi keikhlasan dan arti persahabatan
Ah, apa itu ulang tahun
Hanya istilah manusia untuk mengingatkan dirinya sendiri kalau waktunya di dunia semakin habis tiap harinya

Untuk sahabatku Pipit yang sedang berada nan jauh disana
Begitu banyak orang di sekitarmu yang sayang padamu
Walau fisik belum bisa bertemu, kuyakin Allah tetap menyatukan hati hati ini dalam lindungan-Nya

Semoga Allah selalu memberkahi setiap aktifitasmu
Semoga setiap cita cita yang kau sebutkan dalam do’a do’amu segera diwujudkan Allah
Dan semoga perjalananmu untuk segera menggenapkan setengah agama mendapat keberkahan dalam setiap prosesnya
Kami yakin pipit disana akan jadi orang kuat, berilmu dan sukses
Do your Best !

Salam dari dua sahabat ‘konyol’mu yang sama sama plegmatis jadi ga bisa kasih kata kata puitis dan manis manis 🙂